Infoneritanasional.com-Bolsel, Juli 2025 – Air mata perjuangan itu akhirnya menetes bahagia. Refan Monoarfa, pemuda sederhana asal Desa Tangagah, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, menorehkan sejarah baru dalam hidupnya. Setelah berkali-kali gagal menjadi polisi, Refan akhirnya lolos sebagai Bintara TNI, menjemput takdir yang lama dinantikannya.
Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Saidin Monoarfa dan Ristina Laselo ini tumbuh dengan mimpi besar meski hidup dalam keterbatasan. Ia menamatkan pendidikan di SD Negeri Tangagah (2018), SMP Negeri Tangagah (2021), dan SMA Negeri Milangodaa (2024). Sejak SMA, Refan bercita-cita menjadi anggota Polri, namun jalannya tak pernah mudah.
Pendaftaran pertama Polri tahun 2024 menjadi saksi perjuangan beratnya. Diantar mobil pick up, kendaraan mereka mogok di Amurang dan terkena operasi tilang. Namun Refan tetap melanjutkan perjalanan. Saat tes, ia bolak-balik Bolsel–Manado naik motor, kehujanan di tengah musim hujan. Pernah pula orang tuanya menempuh perjalanan jauh dari Moutong ke Tangagah di tengah duka 40 malam almarhumah Nila Olii, demi mendampinginya saat perangkingan. Tiba di Tangagah jam 6 pagi, mereka langsung berangkat ke Manado naik pick up. Namun, Refan gugur di Pantokhir Daerah.
Ia tak menyerah. Masih di tahun yang sama, Refan mencoba peruntungan di TNI, diantar mobil tetangganya Aris Hasan ke Kodam XIII/Merdeka Manado. Namun lagi-lagi, ia gagal saat parade daerah.
Tahun 2025 pun tak lebih mudah. Refan kembali mendaftar polisi, berangkat naik taksi dari Bolsel ke Manado. Kos-kosan penuh hingga jam 1 malam, baru dapat kos jam 3 pagi. Saat tes kesehatan pertama, orang tuanya menyusul naik motor pinjaman Kisman Ismail menembus hujan deras dari Doloduo hingga Malalayang. Saat tiba, mereka diusir dari kos karena dianggap terlalu sering berisik. Keesokan harinya, Refan pindah kos. Namun ia kembali gugur di Rikes 1.
Meskipun berkali-kali gagal, tekadnya tak pernah padam. Masih di tahun 2025, Refan kembali mencoba mendaftar TNI. Ayahnya yang sedang demam tinggi memaksa menyetir mobil sendiri demi mengantarkan sang anak ke Manado. Dalam perjalanan pulang, sang ayah menggigil hebat dan harus berhenti beberapa kali untuk beristirahat. Setelah mengurus berkas, Refan pulang ke kampung untuk bekerja sebagai buruh harian, memikul pasir dan kerikil demi membayar kos di Manado. Ia tahu, ayahnya belum sehat untuk mencari uang.
Parade daerah pun tiba. Kedua orang tuanya kembali menempuh perjalanan jauh demi mendampingi putra tercinta. Tangis bahagia pecah saat nama Refan Monoarfa dinyatakan lulus dan berhak mengikuti karantina. Sepulang karantina, mereka mendampingi lagi saat parade pusat diumumkan. Perjuangan dan doa panjang itu akhirnya terbayar. Nama Refan resmi tercatat sebagai calon prajurit TNI di satuan kesehatan.
Hari Jumat menjadi saksi keberangkatan Refan dari Bandara Sam Ratulangi Manado menuju Jakarta untuk mengikuti pendidikan Bintara TNI. “Alhamdulillah, doa kami terkabul. Semua perjuangan dan air mata ini terbayar. Kami hanya ingin melihat anak kami berhasil dan menjadi kebanggaan desa,” tutur sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Kisah Refan adalah bukti bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya. Justru di sanalah seseorang ditempa menjadi pribadi tangguh. Kini, Desa Tangagah boleh bangga, salah satu pemudanya mengabdi untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai prajurit TNI, menorehkan kebanggaan bagi keluarga dan tanah kelahirannya.