![]()
Infoberitanasional.com-Jakarta — Di tengah upaya pemerintah menarik arus investasi asing dalam skala besar, sejumlah pengamat menilai bahwa Indonesia berada pada persimpangan penting antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Masuknya modal raksasa di sektor pertambangan, energi, dan perkebunan dinilai menimbulkan potensi ancaman terhadap lingkungan, terutama bila tidak dibarengi mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan.
Isu ini semakin relevan ketika perdebatan mengenai perjanjian ekstradisi dan kerja sama internasional mencuat kembali. Banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan investasi dan perjanjian hukum antarnegara telah mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.
Laju Investasi dan Risiko Eksploitasi Berlebihan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menawarkan banyak kemudahan bagi investor, mulai dari perizinan cepat hingga akses lahan skala besar. Kebijakan ini memang bertujuan untuk meningkatkan arus modal dan membuka lapangan kerja. Namun, di sisi lain, sejumlah sektor yang dibuka untuk investasi justru berada di wilayah-wilayah rentan secara ekologis.
Menurut pengamat hukum dan agraria M. Sunandar Yuwono, investasi tanpa etika ekologis berpotensi mempercepat degradasi lingkungan dan memperburuk ketimpangan penguasaan sumber daya.
“Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dibangun dengan mengorbankan ekologi. Bila lahan, hutan, dan sungai rusak akibat investasi yang tidak bertanggung jawab, yang rugi bukan hanya masyarakat hari ini, tetapi generasi mendatang,” tegas Bang Sunan.
Ekstradisi dan Jejak Kejahatan Lingkungan
Perjanjian ekstradisi sering dipahami hanya dalam konteks kejahatan korupsi, pencucian uang, atau kriminal ekonomi. Namun, para ahli mulai mendorong agar kejahatan lingkungan juga menjadi bagian dari pertimbangan dalam diplomasi hukum antarnegara.
Kejahatan lingkungan lintas negara—mulai dari perdagangan kayu ilegal, penambangan tanpa izin, hingga pembuangan limbah berbahaya—sering melibatkan jejaring global yang memanfaatkan celah hukum ekstradisi.
“Indonesia perlu memastikan bahwa perjanjian ekstradisi mengakui kerusakan lingkungan sebagai kejahatan serius. Jika tidak, para pelaku bisa berlindung di negara lain setelah merusak bumi kita,” tambah Bang Sunan.
Ancaman Ekologi Meningkat
Data dari berbagai lembaga menunjukkan tingginya tingkat deforestasi, polusi tambang, krisis air bersih, hingga kehilangan ruang hidup masyarakat adat. Banyak dari persoalan tersebut berakar dari investasi yang beroperasi tanpa kontrol memadai atau berada di wilayah rentan ekologis.
Beberapa contoh ancaman ekologi yang meningkat:
Kerusakan hutan akibat ekspansi sawit dan tambang mineral.
Pencemaran sungai yang mengancam kesehatan publik dan sektor pertanian.
Krisis ruang hidup masyarakat adat karena tumpang tindih izin konsesi.
Hilangnya keanekaragaman hayati akibat konversi wilayah konservasi.
Perlunya Etika Investasi dan Diplomasi Hijau
Para ahli menilai Indonesia membutuhkan kerangka “investasi beretika” yang wajib mematuhi prinsip keberlanjutan, hak masyarakat lokal, dan perlindungan ekologi. Di saat yang sama, diplomasi internasional juga harus memasukkan isu ekologis sebagai pertimbangan dalam kerja sama hukum global.
Bang Sunan menekankan bahwa pembangunan masa depan harus bertumpu pada keharmonisan antara ekonomi dan ekologi.
“Investasi boleh masuk, tetapi bumi tidak boleh hancur. Ekstradisi penting, tetapi harus melindungi lingkungan. Indonesia harus menjadi negara yang kuat secara ekonomi sekaligus bijaksana secara ekologis,” tuturnya.
Menjaga Masa Depan Bumi Indonesia
Di tengah arus globalisasi dan intensifikasi investasi, Indonesia dituntut lebih cermat dalam menjaga hutan, tanah, dan air sebagai fondasi kehidupan. Ekologi tidak boleh menjadi korban dari diplomasi ekonomi ataupun kerja sama internasional yang mengejar keuntungan jangka pendek.
Masa depan bangsa terletak pada keberanian untuk mengatakan bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang tidak merusak bumi.


