![]()
Infoneritanasional.com-Jakarta — Di tengah meningkatnya konflik lahan, ketimpangan penguasaan tanah, serta krisis lingkungan di berbagai wilayah, isu agraria kembali menjadi perhatian publik. Namun para pengamat menilai bahwa persoalan agraria tidak akan terselesaikan hanya melalui kebijakan pemerintah. Diperlukan kesadaran kolektif yang dibangun melalui pendidikan, peran media, dan gerakan aktivisme yang berkelanjutan.
Pengamat agraria dan advokat publik, M. Sunandar Yuwono, menegaskan bahwa agraria adalah persoalan hidup sehari-hari yang menyangkut tanah, pangan, tempat tinggal, dan keberlanjutan ekologis.
“Isu agraria bukan isu teknis, tapi isu kemanusiaan. Ia harus menjadi bagian dari kesadaran publik, bukan hanya urusan kantor pertanahan atau segelintir akademisi,” ujar Bang Sunan.
Pendidikan sebagai Fondasi Kesadaran Agraria
Para ahli menilai bahwa pendidikan agraria tidak boleh sebatas materi kuliah atau diskusi komunitas. Konsep keadilan, pengelolaan tanah, hak masyarakat adat, serta perlindungan ekologis harus masuk dalam kurikulum sekolah dan kampus.
Bang Sunan menekankan bahwa generasi muda perlu memahami sejarah agraria Indonesia, termasuk perjuangan petani, kolonialisme tanah, hingga konflik kontemporer.
“Literasi agraria adalah syarat untuk melahirkan generasi yang peduli pada bumi, bukan generasi yang melihat tanah hanya sebagai komoditas,” tegasnya.
Program pendidikan yang dapat dikembangkan antara lain:
Kelas agraria berbasis sekolah dan pesantren
Program literasi tanah untuk mahasiswa
Pelatihan hukum agraria untuk komunitas lokal
Pendidikan ekologis untuk anak-anak
Dengan pengetahuan yang benar, masyarakat dapat memahami hak, kewajiban, dan dampak kebijakan agraria.
Media: Penjaga Informasi dan Pembentuk Opini Publik
Dalam era digital, media memiliki peran strategis membentuk persepsi publik terkait isu agraria. Sayangnya, isu agraria sering hanya muncul ketika ada konflik besar atau benturan fisik di lapangan. Padahal, banyak persoalan agraria berlangsung secara senyap: perampasan lahan, polusi tambang, dan hilangnya ruang hidup komunitas adat.
“Media harus menjadi jendela bagi masyarakat untuk melihat realitas agraria yang sebenarnya. Tanpa itu, publik akan terus berada dalam kabut informasi,” jelas Bang Sunan.
Media dapat berperan melalui:
Investigasi agraria
Reportase mendalam tentang masyarakat adat
Edukasi publik tentang hak-hak atas tanah
Narasi positif tentang pertanian dan keberlanjutan
Liputan khusus tentang reforma agraria
Dengan demikian, media bukan hanya penyampai berita, tetapi juga agen perubahan.
Aktivisme Agraria: Suara dari Akar Rumput
Gerakan petani, komunitas adat, dan organisasi masyarakat sipil telah lama menjadi kekuatan penekan untuk perbaikan kebijakan agraria. Aktivisme agraria membantu mengawal implementasi reforma agraria, melawan ketimpangan, dan memperjuangkan hak rakyat kecil.
Bang Sunan menilai bahwa aktivisme bukan ancaman bagi negara, melainkan mitra kritis dalam membangun tata kelola agraria yang berkeadilan.
“Aktivisme adalah suara nurani publik. Ia mengingatkan negara agar pembangunan tidak hanya menguntungkan yang kuat, tetapi juga melindungi yang lemah,” katanya.
Aktivisme agraria modern juga berkembang melalui:
Kampanye digital
Petisi dan advokasi online
Kolaborasi lintas komunitas
Gerakan ekologis pemuda
Pemetaan partisipatif wilayah adat
Kekuatan kolektif ini menjadi benteng terakhir ketika kebijakan tidak berpihak pada masyarakat.
Merangkai Tiga Pilar: Pendidikan, Media, dan Aktivisme
Ketiga elemen — pendidikan, media, dan aktivisme — harus saling melengkapi. Pendidikan memberi dasar pengetahuan, media menyebarkan kesadaran, dan aktivisme menggerakkan perubahan di lapangan.
“Kesadaran kolektif tidak lahir begitu saja. Ia dibangun melalui dialog, pengetahuan, keberanian, dan kerja bersama,” tegas Bang Sunan.
Membangun Indonesia yang adil agraria membutuhkan kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas adat. Dengan kesadaran kolektif yang kuat, bangsa ini dapat memastikan bahwa tanah bukan hanya milik hari ini, tetapi juga milik generasi yang akan datang.


